Jumat, 21 Oktober 2011

"Metal Hari Gini???"



Gemuruh metalcore di scene cadas tanah air mulai menggelegar sejak pertengahan 2002 dengan beredarnya album-album band metalcore manca negara, secara resmi maupun tidak resmi, yang menginspirasi banyak metal heads dan HC kids domestik untuk membentuk band dengan mengusung style hardcore yang metallic. Setelah Straightout, Passenger, Revitol, Formyblood, muncul barisan metalcore militia seperti Suffer Edge, Suja, Bestiality, Hard To Kill, Heaven’s Fire, Instalasi Mati, Ablazed Reflection, Down For Life, Screaming Factor, dll. Disusul awal 2005 dengan nama-nama seperti Dead Maya, March, Soulare, Injustice, Fading Beauty, The Bones, dll. “Hype” metalcore berjalan hampir seiring dengan emo yang sudah hype di atas permukaan blantika musik dunia. Tidak seperti emo, metalcore cenderung tetap berada di underground. Namun emo dinilai sebagai musik yang menjembatani para emo kids (fans musik emo yang mayoritas remaja belia) kepada metalcore dan metal ekstrem lainnya. Karena emo, yang merupakan istilah populis yang dipakai untuk post-pop/punk rock yang emosional ini, juga memiliki sub-subgenre cadas, let’s say; emo hardcore, emo metalcore, blablabla. Dari yang cuma doyan emo manis macam Dashboard Confessional, hingga yang distortif seperti Thursday, My Chemical Romance, kemudian yang screamo (screaming emo –ed) dan metal seperti Alexisonfire, Eighteen Visions, Atreyu, dan akhirnya berlabuh di metalcore seperti Killswitch Engage, As I Lay Dying, Still Remains, The Agony Scene, dan pendengaran mereka terus berlanjut ke band-band seperti The Black Dahlia Murder, Lamb Of God, Trivium, Slayer dan ribuan lainnya. Rasa ingin tahu yang besar dan ingin selalu tampil beda memang dimiliki oleh hampir setiap remaja yang sedang mencari jati diri. Hal inilah yang menyebabkan secara perlahan tapi pasti musik metal mulai diterima secara lebih luas di luar scene-nya seperti dalam pensi-pensi dan klab-klab hiburan malam. Bahkan tidak sedikit band-band “metal generasi baru” yang diakui sebagai band spesialis pensi. Juga, jadi banyak cewek manis dan imut dari kalangan siswi SMU yang menyukai musik metal. Metal memang bukan “Man’s World” semata. Sudah bukan hal yang langka, cewek memakai t-shirt atau tank top berwarna hitam bergambar band metal idolanya berseliweran menghadiri gigs yang menampilkan band metal. Entah sekadar ikut-ikutan atau memang benar-benar suka. Yang jelas, “metal hari ini” mampu menaklukkan hati penikmat musik muda lebih banyak.Namun hal tersebut melahirkan dualisme di tubuh metal lokal. Yang satu kubu metal underground lawas yang fans metal tradisional, satu lagi kubu metal modern yang mulai tergila-gila metal setelah melihat penampilan band-band metal di pensi atau di event lainnya yang mayoritas cenderung “kekini-kinian”. Perpecahan metal menjadi dua kubu memang perlu dibenahi. Pro dan kontra terhadap sesuatu yang baru itu wajar saja sih, asal tidak sampai gontok-gontokan. Lo suka lo ambil, lo nggak suka lo buang. Tapi perlukah sekat di antara kedua kubu ini diangkat untuk bisa menyatukannya? Kalo tujuannya ingin lebih kuat ya bersatulah. Jika sekarang jadi banyak “anak metal dadakan” atau bahkan trendy dan salah kaprah (asal ikut-ikutan saja), jangan lah kita cemooh, melainkan kita didik. Bukankah setiap band atau gig membutuhkan supportive appreciation mereka? Secara nih, man, secara mereka membeli kaset/CD album dan merchandise band serta membeli tiket masuk gigs lokal. But however, menjadi legions of “true” metal kids itu jauh lebih terhormat ketimbang sekedar menjadi penggembira heboh sesaat alias posers! Inga-inga, informasi adalah tulang punggung dari setiap kemajuan. Let’s fight the ignorance!

METAL REVIVAL VS. TREND

Yang pasti, kondisi metal sekarang mengindikasikan kebangkitannya secara signifikan bahwa akan bisa terulang masa keemasan heavy metal yang pernah melanda negeri ini di dekade 80-an dan 90-an awal. Masih ingat fenomena “hair band” yang berpenampilan glamour atau biasa disebut glam metal? Motley Crue, Skid Row, Poison, Warrant, Twisted Sister, Guns N’ Roses, dll. Serta thrash metal yang tidak kalah jaya dengan outfit yang berlawanan dengan glam metal namun musiknya sangar; Metallica, Megadeth, Anthrax, Testament, Slayer, dll. Tapi sebenarnya musik metal tidak pernah mati meskipun mahkotanya sempat direnggut oleh wabah musik grunge a.k.a. alternative rock (Nirvana, Pearl Jam, dll) di awal 90-an, ditambah lagi dengan tragedi kerusuhan konser Metallica di Stadion Lebak Bulus, Jakarta, 1993 silam yang melengkapi kejatuhan tahta metal. Promotor event musik, sponsor, otoritas perizinan, dll, semuanya serentak “ill-feel” dengan metal. Metal di-blacklist. Menurut kacamata mainstream, metal is dead!Oh yeah?! Of course not. “Metal’s Not Dead” dibuktikan melalui kontinuitas pagelaran metal di berbagai tempat dan hampir di setiap penjuru kota. Serta terjadinya regenerasi band metal dalam negeri yang potensial, selama hampir dua dekade telah memperlihatkan perkembangan yang cukup pesat. Dari mulai eranya Sucker Head, Rotor, Roxx, Grausig, Purgatory, Jasad hingga ke Burgerkill, Forgotten, Tengkorak, Death Vomit, Siksakubur, dll, semuanya berusaha keras mencoba mencari terobosan untuk terus eksis. Hal ini justru semakin meyakinkan kita bahwa musik metal akan terus hidup sampai kapan pun, mau jadi mainstream kek atau cuma terselubung alias underground saja kek, it’s no big deal. Bagi yang cuma mengikuti trend tidak akan bisa merasakan suka dukanya memperjuangkan eksistensi dan progresi scene metal. Yeah right, metal memang sedang nge-trend di era jaya tersebut. As you know, trend itu bersifat temporer, tahun ini in, tahun depan bisa saja out. Yang namanya trend pasti akan punah, cepat atau lambat. Pengalaman sudah membuktikan secara gamblang, setelah metal, ada grunge, kemudian ska, berikutnya hip metal dan nu-metal, terus emo, now what? Metal lagi-kah? Mmm… mungkin tahun berikutnya giliran trend dangdut metal…hehehe, gubrak!Okay, siapa sih yang tidak ingin musik metal diperhitungkan secara layak dan berdiri sejajar dengan genre musik lain di Indonesia? Bukankah asik, di setiap toko kaset akan menyediakan album-album metal apa saja yang lo cari. Serta semakin banyak promotor musik yang menggelar event metal secara masif karena pihak sponsor sudah percaya bahwa metal sudah mulai bisa “menjual”. Radio, TV dan media cetak jadi sering memberikan “coverage” untuk metal. Kemudian juga banyak band metal yang dikontrak oleh major label dan akan meraih penghargaan platinum setelah berhasil menjual ratusan ribu kopi seperti yang pernah dialami oleh Sepultura via album “Arise” (1991, Roadrunner/Indo Semar Sakti). Ya, inilah tujuan dari perjuangan dan impian setiap anak metal di Indonesia. Karena selama ini keadaan scene metal masih kebalikan dari keadaan angan-angan tersebut sejak keruntuhan rezim “80’s trendy metal” (hehehe –ed), meskipun perkembangan sekarang sudah memancarkan sedikit cahaya terang. Teteup, jika impian tersebut menjadi kenyataan pun, masih akan meninggalkan pertanyaan besar, yaitu: akankah keadaan ini cuma sementara saja? Jika ya, sakit hati dan dongkol-lah yang akan kita dapat pada akhirnya jika kita harus kembali ke seperti trend metal 80-an yang cuma “numpang lewat dan ngetop” itu. Inilah momok serius yang bakal dihadapi oleh pergerakan metal. Suatu iklim pembodohan di dalam industri musik Indonesia yang kebanyakan cuma mencari “aman” dengan mengikuti arus utama pasar. Peluang profit besar mungkin memang menjanjikan tapi sayangnya masyarakat tidak pernah diajarkan untuk menjadi cerdas. Musik dan fashion keren adalah keren menurut mereka melalui agitasi propaganda media mainstream. Ada udang di balik bakwan karbonisasi ini. Ketika trend metal sudah berakhir, metal sudah tidak keren lagi alias ketinggalan zaman. Kreatifitas sebagian musisi metal kembali terpasung, tidak sedikit yang berubah menjadi kompromis dengan trend dan bahkan sampai ‘melacur’ karena ngoyo ingin cepat ngentot…eh…ngetop. Idealisme dikubur sedalam enam kaki, ribuan telinga dan batin terjengah. Tumpukan korban hegemoni budaya pop yang dibentuk dan dikuasai oleh para kaum pemilik modal. Kondisi marjinal seperti inilah yang melahirkan gerakan underground dan indie (independen –ed). Dalam bisnis seperti sebuah perusahaan minimal harus meraih income yang sanggup meng-cover seluruh outcome termasuk gaji karyawannya. Kesejahteraan mereka bergantung kepada penjualan produk atau jasanya. Urusan “perut” Memang prioritas alias kebutuhan primer. Jadi harus ada paradigma baru yang progresif-revolusioner (anjrit bahasanya –ed) yang mampu mengakomodir aspirasi dan menguntungkan semua pihak (produsen dan konsumen). But it’s not easy as it seems. Anyway, sebelum kita kebelet ingin menggapai impian tersebut, marilah kita tengok, perhatikan dan pelajarilah keadaan scene di Amerika dan Eropa. Meskipun pada dekade 80-an di sana mengalami “golden age”, yang juga sempat mempengaruhi Indonesia, setelah itu scene di sana tetap maju, stabil dan solid hingga kini. Trend apapun tidak akan berpengaruh untuk mencoba menindas. Tanpa bermaksud ingin muluk-muluk, band-band seperti Iron Maiden, Slayer, Slipknot setiap tahun tidak musti selalu masuk Top 40 Charts atau nominasi Grammy Awards untuk mendongkrak penjualan album, merchandise dan memiliki jutaan fans di seluruh dunia. Hal ini tidak lain adalah karena semua fasilitas pendukung tersedia secara memadai. Bejibunnya promotor event musik metal, venue metal, major/indie record label metal, radio program metal, majalah metal dan tayangan video klip dan konser metal yang wira-wiri di stasiun program MTV2 Headbanger’s Ball. Semuanya memiliki network yang sangat luas. Intinya, metal tidak perlu menjadi “top of the game” di dalam percaturan musik dunia, bisa hidup nyaman saja sudah lebih dari cukup.Dalam banyak hal negara kita memang masih sangat jauh ketinggalan. Kondisi ekonomi, sosial dan politik yang kurang mendukung merupakan faktor pengaruh vital. Krisis multi-dimensional berkepanjangan yang tak jelas kapan berakhirnya ini semakin memperkokoh hukum rimba, dimana kejayaan hanya berpihak kepada uang, harta dan kuasa. Angka kemiskinan meningkat hampir seiring dengan angka kejahatan. Tirani masih susah ditumbangkan, gerilya yang positif harus terus dijalankan supaya bisa survive. Namun sebagai bagian dari “survival of the fittest”, janganlah kita lantas menjadi pesimis dan patah semangat meskipun masih banyak banget PR yang musti kita pikirkan dan kerjakan untuk menyiasatinya di tengah kondisi amburadul negara kita. Karena tanpa kondisi fasilitas pendukung atau fondasi yang kuat seperti di kedua benua tersebut, keadaan maju dan ideal scene metal Indonesia impian tidak akan pernah bisa terwujud apalagi everlasting. Utopia-kah? We hope not. 


diambil dari Crushing Magz edisi # 2 November 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar